Pesawat amphibian yang fleksibel bisa mendarat di darat maupun di air
Kebijakan ”Satu Sabuk Satu Jalan” (Maritime Silk Road) yang didukung program ”Tol Laut” (Pendulum Nusantara) saat ini sedang dilakukan secara serentak oleh pemerintah untuk menghubungkan ASEAN dan antar pulau di Indonesia, guna mewujudkan pembangunan ekonomi Indonesia yang berkeadilan.
Kondisi geografis Indonesia dengan wilayah Indonesia yang luas dan memiliki 17.504 pulau yang tersebar di 34 provinsi telah memunculkan permasalahan disparitas dan konektivitas antarwilayah.
Namun Tol Laut tidak akan efisien dan berkelanjutan jika hanya dirumuskan secara parsial. Desain transportasi nasional harus memperhatikan banyak aspek seperti, skala ekonomi, disparitas harga, potensi daerah, arah pengembangan industri, serta kondisi geografis masing-masing daerah, sehingga idealnya harus dikembangkan dengan dual teknologi yaitu, teknologi maritim dan teknologi dirgantara.
Salah satu potensi yang saat ini belum dikembangkan secara serius adalah penerbangan menggunakan “Amphibian/Sea Plane”, padahal sektor ini cukup menjanjikan.
Kemampuan pesawat amphibian yang fleksibel bisa mendarat di darat maupun di air, merupakan keunikan tersendiri yang dapat digunakan untuk meng-eksplore potensi keindahan alam dan bahari Indonesia, sekaligus bisa lebih mendorong sektor Pariwisata Nasional.
Sebagai acuan adalah Maladewa (Maldive) yang sumber penghasilan utamanya berasal dari pariwisata. Maladewa merupakan negara kepulauan seperti Indonesia, yang hanya memiliki sekitar 1.190 pulau (hanya 7 persen dari jumlah pulau yang dimiliki Indonesia). Di antara ribuan pulau tersebut, 80 pulau merupakan resort yang dihuni oleh para wisatawan.
Jika dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah pulau yang dimiliki, jelas Indonesia memiliki potensi yang lebih besar dibanding Maladewa. (*)